Update

8/recent/ticker-posts

LPA Deli Serdang: Pesantren dan Kemenag Deli Serdang harus Tanggung Jawab secara Hukum Atas Tewasnya Santri Darul Arafah



KORANKITA.ONLINE.[Deli Serdang-Sumut] Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Deli Serdang sangat menyesalkan kurangnya pengawasan pihak pengelola Pondok Pesantren Darul Arafah di Desa Lau Bekeri, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang.

"Kurangnya pengawasan membuat kasus penganiayaan yang berakhir kematian"

Seorang santri FWA (14) meninggal dunia setelah dianiaya santri senior AFH (17) di dalam aula pondok pesantren.

Selanjutnya korban menjalani autopsi di Rumah Sakit Bhayangkara Tak. II Medan. Sabtu (5/6/2021).

Berkaitan dengan kasus kekerasan di satuan pendidikan tersebut, LPA Deli Serdang menyampaikan sikap.

Pertama, LPA Deli Serdang mengapresiasi Polrestabes Medan yang dengan cepat memproses kasus ini. Dan meminta pihak kepolisian agar segera melakukan rekonstruksi sebelum melimpahkan berkas kasus tersebut ke JPU (Jaksa Penuntut Umum).

Kedua, Proses hukum yang sedang berjalan tentu saja wajib dihormati semua pihak. Namun, seharusnya kasus kekerasan semacam ini tidak boleh terjadi dan tidak boleh berhenti hanya pada proses hukum yang ngambang, pengelola dan guru pada ponpes tersebut juga harus di proses secara hukum juga,terutama dari sisi tanggung jawabnya sebagai pengelola dan guru.

Apalagi, kasus kekerasan semacam ini terjadi karena lemahnya pengawasan pihak pengelola, Pembina asrama dan para guru terhadap para santrinya.

Kementerian Agama Deli Serdang yang menjadi Pembina dan pengawas pondok-pondok pesantren seharusnya menurunkan inspektoratnya untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus ini.

Selanjutnya, memberikan sanksi sesuai peraturan perundangan jika ditemukan kelalaian dan pembiaran terhadap keselamatan santri selama berada di ponpes, mengingat anak berada selama 24 jam setiap harinya di satuan pendidikan tersebut.

Ketiga, jika pengawasan oleh Pembina asrama dan para guru berjalan dengan seharusnya, maka para santri tersebut tidak mungkin dapat melakukan tindakan kekerasan.

Artinya, jika mempelajari kronologi kasus penganiayaan ini, maka pihak pengelola, Pembina asrama dan para guru telah abai. Tidak peka dan kemungkinan tidak melakukan kontrol sebagaimana seharusnya sebuah sekolah berasrama.

Kelalaian dan kelemahan kontrol tersebut seharusnya dapat dikenai sanksi. Sanksi bisa bermacam-macam, mulai dari administrasi sampai pencabutan ijin ponpes yang bersangkutan.

Keempat, LPA Deli Serdang mendorong Kementerian Agama segera melakukan tindakan nyata bagi upaya-upaya pencegahan kasus-kasus kekerasan semacam ini dengan meningkatkan pengawasan dan pembinaan pondok-pondok pesantren.

Dan meminta pihak pesantren tidak mengeksplotasi santri untuk menjadi pengawas di kamar asrama atau di manapun, mereka disana sedang menimba ilmu bukan untuk diberikan tugas sebagai pengawas atau petugas pendisiplinan.

Hal ini, menurut Junaidi sangat mendesak, mengingat banyak kasus kekerasan terjadi dilingkungan Ponpes, mulai dari kekerasan fisik, psikis sampai kekerasan seksual dan kekerasan yang mengakibatkan kematian seperti saat ini.

Kasus kekerasan terhadap santri di ponpes darul arafah bukan kali pertama terjadi, banyak sekali laporan orang tua anaknya mengalami kekerasan baik fisik, psikis, verbal dan diskriminasi yang tidak dilaporkan dan tindaklanjuti karena diselesaikan secara internal. 

LPA Deli Serdang akan membuka posko pengaduan masyarakat khususnya orang tua atau wali santri yang anaknya mengalami kekerasan di ponpes darul arafah.

Silahkan masyarakat melaporkan jika ada anaknya yang tengah menempuh pendidikan di ponpes darul arafah, kami akan berikan pendampingan baik secara psikologis dan hukum.

Ini adalah wujud partisipasi kami dan upaya untuk memutus mata rantai kekerasan di ponpes darul arafah.

Sementara itu Randy H Tampubolon Aktivis dan Praktisi Hukum ketika di mintai tanggapannya oleh awak media (7/6/2021) mengatakan, " apa dan bagaimana peristiwa yang dialami korban (Alm.FWA) itu peristiwa tindak pidana, penganiayaan yang menyebabkan hilangnya nyawa orang sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 351 ayat (3) dari KUHPidana atau pasal 354 - pasal 338 dari KUHPidana,jadi ini bukan peristiwa main-main,"

Lanjutnya lagi Randy mengatakan "untuk pengelola dan para guru dapat jerat dan kenakan melalui UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, karena Korban masih dibawah umur, kami berkeyakinan peristiwa ini tidak berdiri sendiri,apalagi terjadinya di lingkungan pesantren itu sendiri,lebih baik di proses secara hukum negara,dari pada di proses melalui hukum agama (Qisos) Nyawa dibayar nyawa" ucapnya Randy mengakhiri ||MS/*

Posting Komentar

0 Komentar